Bersama Hujan Kutahan Tubuh dari Angin
Puisi-puisi Gusti Fahriansyah _________________________________________________________________
MENDEKAP MALAM
Gigil demi gigil diterima oleh tubuh
Semacam rindu yang cepat bertambah usia
Membuat kata-kata makin hari makin sakit
Aku adalah kesunyian yang purnama
Menyiasati lorong penuh gemetar
Sedang orang-orang begitu tenang melewati kepulangan
Aku melihat kau bersembunyi
Ketika kerut kening memilah metafora
Yang gemerlapan dilangit raya.
Lalu, senyummu melibas kata-kata yang ‘tlah ditulis
Malam berubah ramai dengan degupan
Suasana sunyi mengancam kehidupan tubuhku
Kutarik pelukmu dalam kenangan
Kurasakan gigilmu tak karuan
13 Oktober 2021
————————–
Foto diambil dari antaranews.com
MALAM ITU
Malam itu, aku mengusap pipimu yang kemerahan
Seperti waktu kuseduh kopi bersama lirih angin
Kau fatamorgana terlintas mata
Sejak aku mengembara dalam diri sendiri
Bening matamu piara ikan-ikan
Dan ingin sekali aku memancing di atas bongkahan alismu
Melempar umpan kata-kata serta jerih
Yang kuambil dari kubangan perih
Kuusap pipimu yang fana dan dingin
Sambil menyeduh air mata
Menelan diriku sendiri yang terperangkap
Dalam panggung korupsi bangsamu, kuusap sekali lagi
Wajahmu sibuk memetakkan kata-kata
Penuh kebimbangan serta pertanyaan-pertanyaan:
Siapa sebenarnya perempuan yang kusebut puisi
Dan kuusap berkali-kali pada malam hari?
17 Oktober 2021
Bersama Hujan Kutahan Tubuh dari Angin
Awalnya, sekadar mendung agak mending
di kening yang nampak berkerut
entah berapa puluhan resah menguap
dan bakal jadi ritmis tangis
di mata jendela yang menahan gigil musim
Menahan adalah jatuh yang kedua
yang paling melankolis dari tatapan hati pertama
lepas itu tinggal bulan-bulan menafsir gerhana
pada sepanjang arah angin melabuh di tubuh tanggal
Seperti rumah bambu dipeluk angin penghujan
menjaga mata yang menyala ratapi sisa kesunyian
yang hatinya tertidur mengulang mimpi masa silam
dan kegagalan masa depan
Kutahan tubuh dari riuh angin
Juga yang mengigilkan selainnya
bersama hujan yang sama-sama gemetaran
dan tetap jatuh, dan mengalir
11 Desember 2021
Sejam yang Menjadi Diam
Sejam, sebelum kuhanyutkan tubuhmu
dalam kubangan metafora,
tatapanku memutih
jadi kasur bayi puisi yang akan lahir.
Dadamu, kukenali lebih
kusapa orang-orang yang pernah
bermukim dan berbudaya
di silam hari yang maya
Tatap matamu
serupa langit dan gerhananya
menjelma ibu bagi kata-kata
yang baru pertama kali menangis:
Sejam, sebelum kau bungkam mulutku
dengan pisaumu.
05 Desember 2021
Gusti Fahriansyah, penulis puisi dan cerpen asal Sumenep, Madura. Bergiat di Kelas Puisi Bekasi, Komunitas Puisi Kampus, LPM Retorika STKIP PGRI Sumenep. Karyanya termaktub di beberapa antologi bersama, juga dimuat di media seperti Radar Madura, Radar Mojokerto, Cakra Bangsa, Gadanama id, Nolesa, Kawaca, Takanta, Mbludus, Kami anak pantai, Bfox, Lampung media, Suku Sastra, Ide Ide, Apajake, Bicara News, Medan pos, Pojok Sastra, dll.